Trending

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Anak di Banjarmasin Naik Drastis Selama 6 Bulan Terakhir

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. (Istimewa).

Banjarmasin - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Banjarmasin naik drastis selama 6 bulan terakhir.

Dari data bulan Januari hingga Juni 2025, tercatat ada 90 kasus yang dilaporkan dan ditangani Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Banjarmasin.

Kepala UPTD PPA DP3A Kota Banjarmasin, Susan menuturkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tahun ini mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2024 lalu yang tercatat 180 kasus dalam setahun penuh.

“Baru enam bulan berjalan, angka kekerasan sudah setengah dari total kasus tahun lalu," kata Susan, Jumat (11/7/2025).

Lebih lanjut, Susan merincikan 34 korban merupakan perempuan dewasa, 30 anak laki-laki, dan 26 anak perempuan. 

Kasus tertinggi tercatat pada Januari dan Februari, dimana masing-masing 25 dan 24 kasus. Sementara bulan Maret menurun drastis menjadi 3 kasus. Namun kembali naik di bulan-bulan berikutnya.

Psikis dan seksual merupakan kasus paling banyak terjadi terhadap perempuan yang menjadi korban. Terdata ada 27 kasus yang mengalami kekerasan psikis dan 2 kasus kekerasan seksual. 

Sementara untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing ada 11 kasus kekerasan seksual. Kemudian 7 kasus kekerasan psikis pada anak perempuan.

"Faktor utama pemicu kekerasan ini meliputi tekanan ekonomi, rendahnya pendidikan, hingga krisis moral baik dari sisi agama maupun lingkungan keluarga," ungkap Susan.

Meningkatnya kasus kekerasan ini, menunjukkan masyarakat sudah mulai berani dan peduli untuk melaporkan. Hal ini, tentunya patut apresiasi. 

Namun di sisi lain, ini menunjukan adanya krisis perlindungan yang serius di tengah masyarakat terhadap anak dan perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan.

Ia juga menekankan bahwa masih banyak kasus yang belum terungkap karena sikap diam dan takut dari korban maupun lingkungan sekitar.

“Kami mendorong masyarakat untuk tidak diam. Setiap bentuk kekerasan harus dilaporkan. Diam adalah bentuk pembiaran,” tuturnya .

Ia juga menegaskan bahwa UPTD PPA tidak hanya menerima laporan. Tetapi juga memberikan pendampingan hukum, psikologis, dan sosial kepada para korban. 

Namun, memang ada keterbatasan sumber daya dan tenaga pendamping yang kerap menjadi tantangan tersendiri dalam menangani lonjakan kasus.

Kendati demikian, tetap saja ini menjadi sinyal darurat yang tidak bisa diabaikan. Sehingga Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat luas dituntut untuk lebih proaktif dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak.

"Perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya tanggung jawab kami, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat," pungkasnya.


(Hamdiah)
Lebih baru Lebih lama