Banjarmasin - Tidak hanya jadi tempat beribadah, kini Klenteng Po An Kiong yang terletak di Jalan Niaga Utara, Kelurahan Kertak Baru Ilir, Kecamatan Banjarmasin Tengah ditetapkan sebagai cagar budaya di tingkat Kota Banjarmasin.
Banyak cerita dan sejarah panjang dibalik bangunan yang lebih dikenal Tempekong Pasar lebih dari seabad lalu.
Dibangun oleh dua tokoh Tionghoa—Letnan The Sion Yoe dan Letnan Ang Lim Thay—klenteng pertama kali berdiri di kawasan Pasar Harum Manis. Namun, setelah musibah kebakaran besar pada 1914, bangunan ini dipindahkan ke lokasi sekarang.
Tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah umat Tri Dharma—Taoisme, Konghucu, dan Buddha—Po An Kiong juga menjadi simbol kebersamaan dan kekuatan spiritual masyarakat Tionghoa di Kota Seribu Sungai.
Menariknya, posisi klenteng berada di lokasi yang secara feng shui dikenal sebagai “tusuk sate” yang diyakini mampu menetralisir energi negatif dan menjadi pelindung kawasan sekitar.
“Awalnya ini hanyalah tempat kumpul warga Tionghoa, tempat mereka berbincang, saling berbagi cerita, bahkan curhat. Lalu ada yang membawa rupang—patung dewa—dan menitipkannya. Dari situlah gagasan membentuk klenteng ini muncul,” kata Chitra Surya Pandi, pengurus Klenteng Po An Kiong, Rabu (16/7/2025).
Sebutan Tempekong sendiri lanjutnya, berasal dari bunyi lonceng yang biasa dibunyikan saat sembahyang. Seiring waktu, suara itu berubah menjadi nama yang melekat pada klenteng ini.
Po An Kiong juga pernah menyimpan kisah pilu namun penuh keajaiban. Saat masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1943–1945, tempat ibadah ini sempat menjadi sasaran bom.
“Bomnya tidak meledak. Hanya meja persembahan yang hancur dan meja itu masih kami simpan sampai sekarang, sebagai bagian dari sejarah,” cerita Chitra.
Resminya menyandang status sebagai cagar budaya, klenteng ini tentu tak hanya menjadi tempat sembahyang. Tetapi juga monumen hidup yang merekam jejak budaya, spiritualitas, dan ketangguhan komunitas Tionghoa di Kota Banjarmasin.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kota Banjarmasin atas penetapan ini. Ini adalah bentuk pengakuan dan penghargaan atas sejarah dan budaya yang kami jaga selama ini,” ucap Chitra dengan nada haru.
Lebih dari sekadar simbol, status cagar budaya menjadi jaminan agar Po An Kiong terus dirawat, dijaga, dan menjadi sumber inspirasi generasi mendatang. Chitra berharap ke depan, status ini bisa ditingkatkan ke level provinsi.
“Tujuannya agar nilai sejarah dan budaya klenteng ini bisa dijaga lebih luas dan lestari. Kami ingin anak cucu nanti tetap bisa merasakan jejak spiritual yang kami rasakan hingga hari ini,” akhirnya.
(Hamdiah)